Senin, 24 November 2014

TANTANGAN DALAM PEMBANGUNAN KOPERASI DI INDONESIA




BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Sejak di proklamirkan kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945 dan sehari kemudian UUD 1945 disahkan, maka timbul semangat baru untuk menggerakkan koperasi. Koperasi sudah mendapat landasan hukum yang kuat di dalam pasal 33 ayat (1) UUD 1945 beserta penjelasnnya.
Gerakan koperasi seluruh Indonesia mengadakan kongres pertama pada tanggal 12 Juli 1947 di Tasikmalaya, Jawa Barat. Salah satu keputusan dari kongres tersebut adalah ditetapkannya tanggal 12 Juli sebagai hari koperasi, yang bermakna sebagai hari bagi seluruh rakyat Indonesia untuk melaksanakan kegiatan perekonomian melalui koperasi.
Pada tahun 1949, peraturan koperasi tahun 1933 diubah dengan Regeling Cooperative Verenegingen 1949. Tetapi, perubahan itu tidak disertai dengan pencabutan, yang berlaku bagi semua golongan rakyat, sehingga pada tahujn 1949, di Indonesisa terdapat dualisme peraturan, yaitu sebagai berikut:
1.    Regeling Cooperative Verenegingen 1949 yang hanya berlaku bagi golongan boemi poetra.
2.    Algemene Regeling op de Cooperative Verenegingen 1933 yang berlaku bagi semua golongan rakyat termasuk golongan boemi poetra.
Pada tahun 1953, Gerakan Koperasi Indonesia mengadakan kongres kedua, dimana salah satu keputusannya adalah menetapkan Bapak M.Hatta sebagai bapak koperasi Indonesia.
Pada tahun 1958, pemerintah mengeluarkan UU Koperasi No.79 tahun 1958. UU ini dibuat berdasarkan UUD sementara 1950 pasalh 38, dimana isinya sama dengan ketentuan pasal 33 UUD 1945. Dengan dikeluarkannya UU ini, maka peraturan koperasi tahun 1933 dan peraturan koperasi tahun 1949 dinyatakan batal.
Dengan diberlakukannya UU No. 79 yahun 1958 yang berdasar UUDS 1950 pasal 50, koperasi semakin maju dan berkembang dimana-mana.
Tetapi, sejak diberlakukannya UUD 1945 berdasar Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959, maka pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 60 tahun 1959 sebagai peraturan pelaksana dari UU No. 79 tahun 1958. Dalam peraturan ini ditentukan bahwa pemerintah bersikap sebagai Pembina, pengawas perkembangan koperasi Indonesia.



BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Tujuan dan manfaat kajian
Tujuan kegiatan ini adalah untuk mengetahui sejarah perkembangan pembangunan koperasi di Indonesia.
2.2 Manfaat kajian
Sebagai dasar untuk mengambil keputusan dari proses pembangunan koperasi di Indonesia.
2.3 Analisi
Penelitian ini mengambil kasus dari beberapa jurnal yang ada. Dalam jurnal yang ada diambil dari beberapa sumber yang berbeda. Kemudian, kasus ini di rangkum menjadi satu makalah.
Dalam berbagai jurnal disebutkan bahwa Perkembangan koperasi masih menghadapi masalah-masalah baik di bidang kelembagaan maupun di bidang usaha koperasi itu sendiri. Masalah-masalah tersebut dapat bersumber dari dalam koperasi sendiri maupun dari luar. Masalah kelembagaan koperasi juga dapat dikelompokkan dalam masalah intern maupun masalah ekstern. Masalah intern mencakup masalah keanggotaan, kepengurusan, pengawas, manajer, dan karyawan koperasi. Sedangkan masalah ekstern mencakup hubungan koperasi dengan bank, dengan usaha-usaha lain, dan juga dengan instansi pemerintah.
Disamping itu, berbagai kondisi struktural  dan sistem yang ada masih menghamba koperasi untuk sepenuhnya dapat menerapkan kaidah ekonomi untuk meraih dan memanfaatkan berbagai kesempatan ekonomi secara optimal.sementara itu dengan terbukanya perekonomian nasional terhadap perkembangan perekonomian nasional terhadap perkembangan perekonomian dunia, akan menghadirkan perubahan-perubahan besar dalam kehidupan ekonomi nasional.
2.4 Pembahasan
Keberadaan beberapa koperasi telah dirasakan peran dan manfaatnya bagi masyarakat, walaupun derajat dan intensitasnya berbeda.  Setidaknya terdapat tiga tingkat bentuk eksistensi koperasi bagi masyarakat (PSP-IPB, 1999) : 

Pertama, koperasi dipandang sebagai lembaga yang menjalankan suatu kegiatan usaha tertentu, dan kegiatan usaha tersebut diperlukan oleh masyarakat.  Kegiatan usaha dimaksud dapat berupa pelayanan kebutuhan keuangan atau perkreditan, atau kegiatan pemasaran, atau kegiatan lain.  Pada tingkatan ini biasanya koperasi penyediakan pelayanan kegiatan usaha yang tidak diberikan oleh lembaga usaha lain atau lembaga usaha lain tidak dapat melaksanakannya akibat adanya hambatan peraturan.  Peran koperasi ini juga terjadi jika pelanggan memang tidak memiliki aksesibilitas pada pelayanan dari bentuk lembaga lain.  Hal ini dapat dilihat pada peran beberapa Koperasi Kredit dalam menyediaan dana yang relatif mudah bagi anggotanya dibandingkan dengan prosedur yang harus ditempuh untuk memperoleh dana dari bank.  Juga dapat dilihat pada beberapa daerah yang dimana aspek geografis menjadi kendala bagi masyarakat untuk menikmati pelayanan dari lembaga selain koperasi yang berada di wilayahnya.

Kedua,  koperasi telah menjadi alternatif bagi lembaga usaha lain.  Pada kondisi ini masyarakat telah merasakan bahwa manfaat dan peran koperasi lebih baik dibandingkan dengan lembaga lain.  Keterlibatan anggota (atau juga bukan anggota) dengan koperasi adalah karena pertimbangan rasional yang melihat koperasi mampu memberikan pelayanan yang lebih baik. Koperasi yang telah berada pada kondisi ini dinilai berada pada ‘tingkat’ yang lebih tinggi dilihat dari perannya bagi masyarakat.  Beberapa KUD untuk beberapa kegiatan usaha tertentu diidentifikasikan mampu memberi manfaat dan peran yang memang lebih baik dibandingkan dengan lembaga usaha lain, demikian pula dengan Koperasi Kredit. 

Ketiga, koperasi menjadi organisasi yang dimiliki oleh anggotanya.  Rasa memilki ini dinilai telah menjadi faktor utama yang menyebabkan koperasi mampu bertahan pada berbagai kondisi sulit, yaitu dengan mengandalkan loyalitas anggota dan kesediaan anggota untuk bersama-sama koperasi menghadapi kesulitan tersebut.  Sebagai ilustrasi, saat kondisi perbankan menjadi tidak menentu dengan tingkat bunga yang sangat tinggi, loyalitas anggota Kopdit membuat anggota tersebut tidak memindahkan dana yang ada di koperasi ke bank.  Pertimbangannya adalah bahwa keterkaitan dengan Kopdit telah berjalan lama, telah diketahui kemampuannya melayani, merupakan organisasi ‘milik’ anggota, dan ketidak-pastian dari dayatarik bunga bank.  Berdasarkan ketiga kondisi diatas, maka wujud peran yang diharapkan sebenarnya adalah agar koperasi dapat menjadi organisasi milik anggota sekaligus mampu menjadi alternatif yang lebih baik dibandingkan dengan lembaga lain.
Di Indonesia sampai dengan bulan November 2001, jumlah koperasi tercatat sebanyak 103.000 unit lebih, dengan jumlah keanggota ada sebanyak 26.000.000 orang. Jumlah itu jika dibanding dengan jumlah koperasi per-Desember 1998 mengalami peningkatan sebanyak dua kali lipat. Jumlah koperasi aktif, juga mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan. Jumlah koperasi aktif per-November 2001, sebanyak 96.180 unit (88,14 persen). Corak koperasi Indonesia adalah koperasi dengan skala sangat kecil.
Secara historis pengembangan koperasi di Indonesia yang telah digerakan melalui dukungan kuat program pemerintah yang telah dijalankan dalam waktu lama, dan tidak mudah ke luar dari kungkungan pengalaman ter­sebut. Jika semula ketergantungan terhadap captive market program menjadi sumber pertumbuhan, maka pergeseran ke arah peran swasta menjadi tantangan baru bagi lahirnya pesaing-pesaing usaha terutama KUD. 
Jika melihat posisi koperasi pada hari ini sebenarnya masih cukup besar harapan kita kepada koperasi. Memasuki tahun 2000 posisi koperasi Indonesia pada dasarnya justru didominasi oleh koperasi kredit yang menguasai antara 55-60 persen dari keseluruhan aset koperasi dan dilihat dari populasi koperasi yang terkait dengan program pemerintah hanya sekitar 25% dari populasi koperasi atau sekitar 35% dari populasi koperasi aktif. Pada akhir-akhir ini posisi koperasi dalam pasar Perkreditan mikro menempati tempat kedua setelah BRI-unit desa dengan pangsa sekitar 31%. Dengan demikian walaupun program pemerintah cukup gencar dan menimbulkan distorsi pada pertumbuhan kemandirian koperasi, tetapi hanya menyentuh sebagian dari populasi koperasi yang ada. Sehingga pada dasarnya masih besar elemen untuk tumbuhnya kemandirian koperasi.
Mengenai jumlah koperasi yang meningkat dua kali lipat dalam waktu 3 tahun 1998 –2001, pada dasarnya tumbuh sebagai tanggapan  terhadap dibukanya secara luas pendirian koperasi dengan pencabutan Inpres 4/1984 dan lahirnya Inpres 18/1998. Sehingga orang bebas mendirikan koperasi pada basis pengembangan dan pada saat ini sudah lebih dari 35 basis pengorganisasian koperasi. Kesulitannya pengorganisasian koperasi tidak lagi taat pada penjenisan koperasi sesuai prinsip dasar pendirian koperasi atau insentif terhadap koperasi. Keadaan ini menimbulkan kesulitan pada pengembangan aliansi bisnis maupun pengembangan usaha koperasi kearah penyatuan vertical maupun horizontal.

Pembangunan koperasi pada pembangunanjangka panjang pertama telah berhasil meningkatkan peranannya dalam perwkonomian nasional. Hal ino terlihat antara lain dengan semakin fumbuhnya koperasi mandiri dan semakin tumbuhnya keasadaran masyarakat mengenai koperasi. Memasuki pembangunan jangka panjang kedua perlu lebih dikenal adanya berbagai tantangan yan akan dihadapi. Dengan pemanfaatan peluang dan mengatasi kendala yang ada diharapkan pembangunan koperasi pada pembanguan jangka panjang ke dua akan lebih berhasil.

Meskipun banyak hasil yang dicapai dalam pembangunan koperasi selama pembangunan jangka panjang pertama, masih banyak pula masalah yang belum terselesaikan, yang harus dilanjutkan dan ditingkatkan penagannya dalam pmbangunan jangka panjanv kedua, sebagai tantangan untuk mewujudkan cita-cita perkoprasian seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945.

Hingga saat ini karena berbagai alasan ekonomi dan nonekonom, koperasi pada umumnya belum dapat melaksanakan sepenuhnya prinsip koperasisebagaimana yang dicita-citakan, shingga koperasi sebagai badan usaha dan gerakan ekonomi rakyat belum dapat mengembangkan sepenuhnya potensi dan kemampuannya dalam memajukan perekonomian nasional dan meningkatkan kesejahteraan anggotanya.
Oleh karena itu, tantangan dalam pembangunan koperask adalah mengembangkan koperasi menjadi badan usaha yang sehat, kuat, maju dan mandiri serta memiliki daya saing, sehingga mampu meningkatkan peranannya dalam perekonomian nasional sekaligus kesejateraan anggota.

Dengan memperhatikan kedudukan koperasi, baik sebgai saka guru perwkonomian nasional maupun sebgai bagian integral tata perekonomian nasional, peran koperasi sangat penting dalam menumbuhkan dan mengembangkan potensi ekonomi rakyat. Dalam kenyataannya, koperasi masih mnghadapi beberapa hambatan struktural dan sistem untuk dapat berfungsi dan berperqn sebgaimana yqng diharapkan, antara lain dalam memperkukuh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian nasional.

Dengan demikian yang menjadi tantangan adalah mewujudkan koperasi, baik sebgai badan usaha maulun sebgai gerakan ekonomi rakyat agar mampu berperan secara nyata dalam kegiatan ekonomi rakyat. Inti kekuatan koperasi  terletak pada anggota yang berlartisipasi aktif dalam organisasi koperasi, dan kesadaran masyarakat untuk bergabung dalam wadah koperasi. Sementara itu, kepercayaan masyarakat terhadap koperasi makin meningkat, tapi belum cukup memadai antara lain disebabkan oleh masih adanya berbagai hambatan untuk meningkatan manfaat koperasi bagi anggotanya. Hal ini antara lain telah menyebabkan lambatnya koperasi mengakar dalam masyarakat.

Sebagai gerakan ekonomi rakyat, koperasi masih harus meningkatkan kemampuannya dalam menggerakkan dan menampung peran serta masyarakat secara luas. Oleh karena itu, mewujudkan koperasi sebgai gerakan ekonomi rakyat yang berakar dalam masyarakat juga merupakan tantangan dalam pembangunan koperasi di indonesia.


KESIMPULAN
Potensi koperasi pada saat ini sudah mampu untuk memulai gerakan koperasi yang otonom, namun fokus bisnis koperasi harus diarahkan pada ciri universalitas kebutuhan yang tinggi seperti jasa keuangan, pelayanan infrastruktur serta pembelian bersama. Dengan otonomi selain peluang untuk memanfaatkan potensi setempat juga terdapat potensi benturan yang harus diselesaikan di tingkat daerah. Dalam hal ini konsolidasi potensi keuangan, pengem­bangan jaringan informasi serta pengembangan pusat inovasi dan teknologi merupakan kebutuhan pendukung untuk kuat­nya kehadiran koperasi. Pemerintah di daerah dapat mendo­rong pengembang­an lembaga penjamin kredit di daerah.
Selain itu koperasi harus menjadi badan usaha yang sehat, kuat, maju dan mandiri serta memiliki daya saing, sehingga mampu meningkatkan peranannya dalam perekonomian nasional sekaligus kesejateraan anggota.
Agar bisa menjadikan koperasi menjadi baik sebagai badan usaha maulun sebgai gerakan ekonomi rakyat agar mampu berperan secara nyata dalam kegiatan ekonomi rakyat.
DAFTAR PUSTAKA
Kusnadi, Hendar, Ekonomi Koperasi , Jakarta: Lemabaga Penerbit FE-UI, 1999

Tidak ada komentar:

Posting Komentar